Dalam Kondisi Krisis Keuangan, Presiden Kelak Jadi Penentu
Indonesia pernah mengalami krisis keuangan yang nyaris menjurumuskan negara pada kebangkrutan. Situasi berbahaya seperti ini harus diatur secara jelas dalam undang-undang. Presiden kelak menjadi penentu kebijakan, apakah sebuah bank, misalnya, bisa dinyatakan gagal dan berdampak pada krisis keuangan negara.
Inilah yang mengemuka dalam pembahasan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) antara Komisi XI DPR RI dengan pemerintah. Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan, saat ditemui Senin (15/2), di sela-sela acara seminar ekonomi di DPR, mengungkapkan, masalah-masalah krusial yang mengundang perdebatan panjang sudah diselesaikan. Kini, Komisi XI tinggal melakukan perumusan dan singkronisasi atas RUU ini.
Seperti diketahui, DPR dan pemerintah sepakat menyusun RUU JPSK dan mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.4/2008 tentang JPSK. Ada empat masalah krusial yang sempat mengundang perdebatan alot. Pertama, soal penamaan JPSK pada RUU ini. Istilah “jaring pengaman” menurut Heri tidak jelas. Setelah melewati pembahasan yang panjang nama JPSK untuk RUU ini diganti menjadi PPKSK (Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan).
Kedua, menyangkut eksistensi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Institusi yang beranggotakan Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS ini disepakati sebagai badan ad-hoc yang dibentuk saat terjadi krisis perbankan. Untuk itulah, RUU ini dirancang untuk menghadapi masa krisis. Bila tidak ada krisis, UU JPSK tidak berlaku. Yang berlaku, kata Heri, tetap UU yang mengatur masing-masing lembaga keuangan tersebut.
Hanya saja, lanjut Heri, dari keempat lembaga keuangan ini, tiga di antaranya memiliki hak berpendapat dan hak suara dalam setiap rapat di badan ad-hoc keuangan nanti. Ketiganya adalah Kemenkeu, BI, dan OJK. Sementara LPS hanya diberi hak berpendapat. “LPS, kan, hanya pelaksana sehari-hari untuk menjamin simpanan bank. Berarti kita berharap, LPS sebagai badan bentukan pemerintah hanya punya hak berpendapat, tidak memiliki hak suara,” jelas Heri.
Ketiga, isu makroprudensial. Tak jelas betul apa makna di balik istilah ini. Makroprudensial selama ini dipegang oleh otoritas BI. Sedang mikroprudensial jadi wilayah kerja OJK. Ditegaskan Heri, masalah makro sudah pasti mencakup masalah mikro. Topik ini jadi perdebatan sengit. Ketika BI dan OJK diundang untuk menjelaskan perannya dalam masalah ini, sangat kentara ego sektoral masing-masing.
BI sendiri dalam laman resminya memberi penjelasan bahwa makroprudensial adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Karena Komisi XI memandang masalah ini tak jelas, akhirnya disepakati persoalan menyangkut makro dan mikroprudensial dihapus dari materi RUU.
Terakhir, masalah krusial lainnya adalah penunjukkan presiden sebagai pemegang keputusan penting atas krisis keuangan nasional. “Dalam kondisi tidak normal dan darurat atau apapun namanya, presidenlah yang harus mengambil keputusan,” ungkap Heri. Presiden akan mengambil keputusan penting itu atas rekomendasi tertulis dari badan ad-hoc keuangan. (mh)/foto:arief/parle/iw.